“Innalillahirojiun…” hanya itu kata yang mampu di ucapkan saat melihat sekujur tubuh terbaring di atas tikar pandan putih. Semua yang ada disitu menunduk, menumpahkan air mata tanpa suara. Tadi malam sekitar pukul 21.45, Wan Nimah menghembuskan nafas terakhirnya. Di rumah pusaka peninggalan suaminya. Jasadnya akan dikebumikan siang ini. Terkuburlah niat untuk mengunjungi rumah Allah bersama jasad. Niat yang telah bertahun-tahun dipendamnya. Akhirnya tidak kesampaian juga.
Dia adalah seorang ibu tunggal yang hidup bersama dua cucunya. Ani 13 tahun, dan Amin 7 tahun. Suami Wan Nimah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu akibat sakit tua. Sementara anak perempuan tunggalnya juga telah telah meninggal dunia saat melahirkan anak terakhirnya, Amin. Sedangkan menantunya, yaitu ayah kepada Ani dan Amin telah menikah lagi dengan wanita lain. Dan tidak pernah mengirim kabar apa pun kepada mereka. Kini tinggallah Ani dan adiknya. Hidup sebagai yatim piatu. Tiada lagi tempat menumpang hidup dan mengadu nasip.
Wan Nimah telah bertahun-tahun mengurung niat untuk mengunjungi Mekah, menunaikan ibadah haji. Tapi semua itu tidak kesampaian. Dia terlebih dahulu dipanggil untuk menghadap Allah dan menyusul suami dan anak tercinta.
Kehidupan mereka sederhana. Hidup dari hasil kebun yang selama ini diusahakan bersama cucunya. Wan Nimah mempunyai beberapa bidang tanah yang menjadi sumber rezeki baginya. Dari hasil itulah dia membesarkan dan membiayai sekolah cucu-cucunya.
Wan Nimah terkenal sebagai sosok yang peramah dan periang. Tidak pernah bersengketa dengan tetangga sejak menetap didesanya, hampir 60 tahun yang lalu. Dia terkenal murah hati. Seringkali membantu orang-orang yang susah di perkampungannya. Siapa saja yang membutuhkan bantuan, pasti dibantu. Sekuat dan semampunya.
Dia dan suaminya termasuk orang pertama yang membuka wilayah ini. Mereka berasal dari Desa Muntai, sebuah desa di kecamatan Bantan. Mereka mengunjungi daerah ini untuk membuka lahan baru. Menurut ceritanya, kampung ini dahulunya hutan belantara. Tidak berpenghuni. Memang pada mulanya ada yang pernah membuka daerah ini tapi sayangnya mereka tidak bisa bertahan. Kerana menurut kepercayaan orang-orang terdahulu kampung ini ada penghuni lain, makluk halus. Wallahu’alam.
***
“Wan ingin sekali mengunjungi Mekah.” Katanya kepada cucu perempuannya sebulan sebelum malaikat Allah menjemputnya. “Sudah 5 tahun wan kurung niat ini, tapi wan belum juga berkesempatan.” Tambahnya lagi. “Berarti wan sudah punya simpanan?” Tanya cucunya itu.
“Adalah sikit, tapi tahun ini wan nekat nak juga pergi menunaikan haji. Entah mengapalah, rasanya wan telah terpanggil untuk mengerjakannya.” Jabab Wan Nimah. “Sedikit mana cukup wan. Paling tidak wan harus menyediakan uang tiga puluh lima juta. Apa wan ada uang sebanyak itu?” Tanya cucunya lagi.
Beberapa saat Wan Nimah terdiam. “Wan rasa wan nak jual saja tanah kita yang di pinggir laut itu. Pasti ramai yang mahu. Sekarangkan orang lagi sibuk mencari tanah untuk menanam sawit dan bakau. Tanah kita itu cocok sekali dengan kedua jenis tanaman itu.” Jelas Wan Nimah sambil berdiri dan mengambil surat-surat penting dari simpanannya.
“Wan nak letak harga berapa?” tanya Ani. “Itu wan belum tahu lagi. Nantilah wan tanyakan kepada orang yang lebih mengetahuinya. Sekaligus wan nak mintak tolong pak RT mencarikan orang yang ingin membeli tanah tu.”
Seminggu setelah Wan Nimah mengumumkan niatnya itu, datanglah pedagang kaya kerumahnya. Apek Cina. Bermaksud hendak membeli tanahnya itu. Harga yang diletakkan Wan Nimah tiga puluh juta. Tanpa tawar-menawar, apek itu lansung membelinya. Uang kes dihulurkan kepada Wan Nimah. Segala surat-menyurat pun diserahkan Wan Nimah kepada cina itu. Keduanya menanda tangani surat pernyataan. Jual-beli pun sah.
“Kalau mengikut petua orang kita, menjual tanah itu kurang baik.” Kata Wan Nimah buka bicara saat berkumpul dengan cucu-cucunya malam itu. “Mengapa pulak Wan?” tanya Amin, cucu laki-lakinya. “Kata orang, menjual tanah sama saja menjual harga diri. Tapi itu kata orang dahulu. Sekarang tidak ada orang yang mempedulinya.”
“Mengapa bisa seperti itu ya wan?” sambung Ani. “Yelah cu, orang zaman dahulu semuanya banyak tanah. Mereka malu kalau tanah itu dijual. Fikir mereka lebih baik mengusahakan tanah itu, hasilnya yang digunakan untuk keperluan hidup. Sedangkan orang sekarang hasil dari mereka menjual tanah itu yang digunakan untuk keperluan hidup.”
“Oo..macam gitu wan. Pantaslah sekarang tanah-tanah orang kita banyak jadi milik orang cina. Orang cina mampu membelinya dengan harga tinggi. Dah itu dibuat rumah walet. Orang cina dapat uang yang banyak, orang kita pulak yang melopong.” Sambung Amin, cucu laki-lakinya. Setelah beberapa saat pembicaraan itu, mereka pun bersurai. Masing-masing memutuskan untuk tidur.
Wan Nimah pun masuki kamar, dan merebahkan tubuh yang kurus itu ke atas kasur. Beberapa saat setelah itu diusahaknnya untuk melelapkan mata dari keheningan malam. Namun tidak bisa. Dia memilih untuk membaca selawat bebarapa kali, dan berusaha untuk memejamkan mata. Masih gagal.
Fikiran Wan Nimah melayang. Ternyata ia masih ragu, apakah keputusannya menjual tanah itu benar. Dia mulai menimbang nilai positif dan negatifnya. Ternyata hasilnya positif. Wan Nimah telah berfikir panjang sebelumnya membuat keputusan itu. Tapi entah mengapa malam ini timbul keraguan dalam dirinya.
Wan Nimah menjual tanah itu bukan karena uang simpanannya tidak cukup untuk menunaikan ibadah haji. Melainkan karena memikirkan cucunya. Mungkin sesuatu yang tidak diinginkan terjadi saat dia menunaikan ibadah. “Bagaimana nasip cucuku nanti?” dalam batinya melirih. “Dengan menyimpan sedikit uang, mungkin kehidupan cucuku mungkin sedikit lebih mudah. Mereka bisa menjalani hidup ini dengan baik. Sampai mereka dewasa, dan mampu mengolah hasil kebun dengan bijaksana.” Katanya dalam hati.
***
Ternyata Wan Nimah telah memikirkan kemungkinan buruk yang terjadi. Sebab itulah dia merencanakan sesuatu. Tanpa sepengetahuan cucu-cucunya. Jauh sebelum waktu itu, dia telah menyiapkan surat wasiat atas harta-hartanya. Surat itu dititipkan kepada imam kampung, sebagai orang kepercayaan Wan Nimah sejak dulu lagi. Wasiat itu hanya tertulis nama Ani dan Amin. Tetapi belum mewakili seratus persen dari haryanya. Dua puluh persen atas harta Wan Nimah, yaitu sebidang tanah dititipkan untuk diwakafkan. Dia juga meminta pak imam membantu cucunya menjaga harta peninggalannya. Dan berpesan kepada kedua cucunya, agar tidak mempermasalahkan hal itu. Itulah wasiat Wan Nimah.
***
Dua minggu sebelum jadwal keberangkatan rombongan haji pertama, Wan Nimah mengadakan kenduri keselamatan di rumahnya. Acara yang lazim dibuat sebelum orang berangkat haji. Wan Nimah menjemput semua penduduk kampung untuk melaksanakan kegiatan itu. Kaum wanita dijemput untuk membantu menyiapkan segala sesuatu keperluan kenduri. Sementara kaum laki-laki dijemput pada malam harinya, untuk melaksanakan acara itu. Do’a dan maaf-memaaf kan menyempurnakan hajat Wan Nimah.
Namun, lima hari setelah itu, keadaan kesehatan Wan Nimah menurun dia kerapkali batuk. Badanya panas. Dan setelah menjalankan cek dokter, ternyata tekanan darah Wan Nimah naik. Kepalanya sering pusing. Dia tidak kuat lagi untuk berdiri. Apa lagi melakukan aktifitas seperti biasanya. Wan Nimah hanya terbaring di ruang tengah rumahnya. Makan minum pun dibantu Ani. Sementara urusan kebun, Amin dengan beberapa orang kampung yang mengambil alih.
Sosok yang terkenal kuat semangat dan gigih ini berubah total. Badanya lemah-lunglai. Wajahnya semakin hari semakin pucat. Penduduk kampung tidak pernah putus-putus menjenguknya. Semua perihatin atas dirinya. Bagaimana tidak, orang tua ini terlalu ingin mengunjungi rumah Allah. Tidak disangka keadannya menjadi seperti ini.
Kedua cucunya risau. Begitu takut jika neneknya tidak mampu menunaikan haji. Lebih takut lagi jaka ia meninggalkan mereka. Kepada siapa mereka akan mengadu nasip. Ibu telah lama pergi, sedang ayah entah dimana. Amin tidak berhenti menagis. Kegalauan hatinya makin menciut. anak usia 7 tahun ini terlalu manja dengan neneknya. Bagaiman tidak, sejak kecil lagi dia tidak mendapat kasih sayang orang tua. Hanya nenek tua ini yang menjadi tempat bermanja.
Malam ini, orang kampung memenuhi rumah Wan Nimah. Perihatin akan nasipnya. Lalu mereka memutuskan untuk membacakan yassin. Selesai saja mereka mebacanya, pak imam mendekati wanita tua itu. Mengajarinya mengucap dua kalimat syhadat. Dibisikannya kalimat “Asyhaduanlaailaahaillallaah, Waasyhaduanna Muhammadarrasulullah” ketelinga wanita tua itu. Wan Nimah pun mengikutinya. Hanya sedikit suaranya terdengar. Setelah itu Wan Nimah pun dengan begitu tenang menghembuskan nafas terakhirnya. “Innalillahirojiun…”
Selesai.
0 komentar:
Posting Komentar