Dua hari yang lalu, desa kami dihebohkan dengan kehilangan beberapa utas jaring. Kabar itu begitu cepat beredar. Bersama angin laut yang menerpa semua fakta dan kian menjadi cerita. Emak mendengar kabar itu dari tetangga kami. Tapi apa yang didengar bukanlah sekadar cerita. Melainkan fakta yang begitu menyayat hati. Menurut cerita Mak Timah, tetangga kami, ayahlah sang pencuri jaring itu. Jaring milik Pak Ahmad, ketua nelayan desa kami.
“Aku bukan hendak menuduh suami mu, Jah.” Kata Mak Timah sambil memegang pundak Emak. “Tapi apa yang aku dengar ini mungkin lebih baik aku ceritakan kepada mu sebelum orang lain bercerita”. Emak hanya diam dan menundukkan wajah saat Mak Timah berkata kepadanya.
“Ceritalah, kak. Aku pun ingin mendengarnya”. Suara Emak pelan. “Betul kau tak marah dengan apa yang inginku katakan?”. Sambut Mak Timah. “Tidak, apa hendak dimarah. Aku pun telah mendengar kabar ini sebelumnya”. Jawab Emak sambil menatap hampa ladang padi yang menghijau.
“Jah, aku kasian dengan engkau Jah. Dari dahulu lagi begitu banyak cobaan yang telah engkau lalui”. Mak Timah mulai bercerita. “Aku tahu kabar ini dari orang –orang desa kita. Kata mereka suami mu telah mencuri jaring itu. Aku tidak menuduh, tapi itulah cerita yang aku dengar”. Suara Mak Timah beransur pelan.
Suasana hening seketika. Keduanya hanya terdiam menatap hampa hamparan ladang padi yang luas milik penduduk desa kami. Satu karena kegundahan dan kekecewaan hati. Dan satu lagi karena merasa bersalah telah menceritakan kepada emak fakta sebenarnya.
***
Sepulang dari mendengar kabar itu, emak bersikap dingin kepada kami. Mungkin karena kekecewaannya terhadapa ayah. Dia pun jarang bergabung dengan tetangga. Seperti biasanya, emak bersama tetangga keladang untuk mengambil upah menanam dan merawat padi secara bersama. Tapi sekarang berbeda.
Emak menjadi lebih pendiam. Memang sebelumnya dia seorang yang tidak banyak bicara, sopan, dan terkenal sebagai wanita yang rendah hati. Tapi kali ini, sifat pendiam emak bukanlah karena sopan atau kerendahan hati. Melaikan karena kekecewaannya terhadap ayah.
“Mungkin atap yang dibelikan abang itu adalah hasil ia mencuri jaring Pak Ahmad.” Batin emak berkata. “Tapi itukan upah abang mengait kelapa rumah Pak RT.” Emak berusaha mengira-ngira. “Tidak mungkin abang membohongi aku, dia bukan pencuri. Mungkin saja ini hanya fitnah. Mungkin karena keluarga kami miskin dan menupang didesa ini, kami seenaknya dituduh pencuri. ” Emak memaksa mengubati luka sendiri. “Tapi mengapa baru kali ini ada fitnah terhadap keluarga kami?” Emak masih kebingungan. “Ah, aku harus bertanya kepada abang.”
***
Adzan mahgrib baru saja berkumandang. Aku bergegas mengambil air sembahyang. Semua anggota keluarga kami berkumpul. Malam ini tidak seperti biasanya. Emak tidak menungggu ayah untuk mengimami sholat maghrib seperti rutin kami lakukan. Emak sholat bersendirian, dan aku mengimami adik-adikku. Dua perempuan dan satu laki-laki.
Malam ini sungguh berbeda. Tidak ada hidangan dilantai rumah kami. Cahaya lampu pelita menerangi ruangan tengah dan kamar. Sauasan begitu sepi. Tidak seperti biasanya. Aku tahu mengapa keadaan sedemikian. Mungkin adik-adikku juga tahu. Kecuali sibungsu, karena usianya baru saja tiga tahun.
Aku berusaha mencari jalan agar suasana tidak terlalu menyiksa kami. Aku perintahkan adik-adikku untuk mengambil Al-Qur’an. Kami mengaji dikamar. Aku fikir, inilah cara terbaik untuk merubah suasana sepi yang menyiksa kami.
Sementara dirungan tengah, ayah hanya diam membisu sejak pagi tadi. Mungkin ia juga mendengar kabar yang sama. Dan ia takut kalau anak-anak dan istrinya kecewa. Sedang emak, duduk dalam kegelapan sudut rumah. Batinya menangis, terluka dan malu akan perlakuan ayah.
***
“Mengapa kau diam Jah?” terdengar suara ayah bertanya kepada emak. Mungkin ayah penasaran melihat emak termenung dalam kegelapan. Emak tersentak, mungkini fikirannya telalu jauh melayang. Tapi tidak ada jawaban. Sementara adik-adikku terus mengaji. Dan aku berusaha menyimak keduanya. Satu menyimak bacaan adikku, dan satu lagi menyimak perbualan ayah dan emakku diluar.
“Lebih baik abang berterus-terang kepadaku.” Pinta emak kepada ayah. “Tentang apa?” Tanya ayah seakan tidak tahu pokok pembicaraan mereka. “Abang tidak usah membohongi kami lagi. Aku sudah mendengar cerita ini dari orang-orang desa kita.” Jelas emak kepada ayah.
Suasana sepi seketika. Hanya pecahan suara adikku melintas kesepian itu. Tiba-tiba ayah berkata, “Aku terpaksa Jah. Apa kau lupa, beberapa hari yang lalu, anak dan rumah kita basah tertimpa air hujan. Aku tidak sanggup melihat anak-anakku kedinginan dan lemas dalam rumah sendiri.” Jelas ayah kepada emak.
“Tapi mengapa abang tidak mencari uang halal? Padahal kata abang uang itu dari upah yang abang terima dari Pak RT. Mengapa abang berbohong?.”
“Dengar dulu penjelasan abang Jah. Memang abang ada bekerja dirumah Pak RT. Tapi upah yang abang dapat hanya cukup untuk makan sehari dua. Dan untuk menggantikan atap rumah kita yang bocor ini, abang terpaksa mencari uang lain.” Jelas ayah kepada emak. Emak hanya diam, menyimak dan mencoba menerima kenyataan itu.
“Maafkan abang Jah, abang tidak berniat untuk memberi makan-minum dan nafkah dari uang haram. Abang terpaksa. Kau “kan tahu, kita di desa ini tidak punya apa-apa. Hidup menumpang. Rumah kita saja berdiri di atas tanah wakaf.” Suara ayah tenang saat menjelaskan itu kepada emak.
“Untuk makan saja kita terpaksa mengambil upah dari penduduk sini. Itu pun tidak seberapa. Abang kasihan sekali melihat anak-anak kita yang setiap hari terpaksa kelaut untuk mencari sebanyak mungkin siput. Dijual untuk membeli lauk. Seharusnya anak-anak usia mereka bersekolah seperti anak-anak tetangga.” Terdengar penjelasan ayah penjang lebar.
“Abang rela Jah, dikatakan pencuri. demi anak-anak. Abang ingin menjadi ayah yang bertanggung jawab kepada mereka. Tapi rezeki terlalu sempit rasanya untuk kita. Mungkin abang harus berusaha lebih giat lagi, Jah.”
“Walau bagaimana pun bang, aku tetap tidak rela abang mencuri. Biar kita kepanasan dan kehujanan, asalkan kita tidak mencuri. Sekali kita berbuat khilaf, selamanya buruk dikenal orang. Dan aku takut anak-anak kita mengikutinya. Kerena mereka merasa susah dan kasian akan kita, mereka ikut mencuri. Aku tidak mahu hal seperti itu terjadi, bang.” Ujar emak kepada ayah.
***
Saat itu aku dan adik-adikku duduk di pojok rumah yang hanya berukuran 3x5 meter. Disitu dapur dan disitu juga kamar tidur yang hanya tersekat kain usang. Kami ikut mendengar perbualan mereka. Meskipun masih tergolong anak-anak, aku dengan usia sembilan tahunku, berusaha memahami.
***
Emak tenang setelah mendengar penjelasan ayah. Mungkin ia mengerti dan mahu menerima alasan ayah. Dalam hatinya berkat, “Ya Allah, apuni dosa keluarga kami, dosa suamiku ya Allah. Ia sanggup mencuri demi anak-anak dan keluargannya. Ampuni kami ya Allah…”
Lalu ia tersenyum melihat kami, anak-anaknya duduk berkumpul di hadapan mereka. Emak wanita yang hebat. Sanggup menelan kepahitan demi menjaga hubungan kekeluargaan. Karena hanya ini yang kami punya, keluarga dan sanak-saudara di Sumatra Utara jauh sekali. Emak memeluk erat adik bungsuku, terharu dengan pengorbanan ayah.
Selesai.
0 komentar:
Posting Komentar