Waktu terus saja berjalan. Detik jarum jam
dinding itu bunyinya masih sama. Sesekali ia berdenting keras, tanda
bergantinya angka. Dan aku masih disini. Tetap disini, dan akan selalu disini.
Entah apa yang ku tunggu. Aku ragu. Sebenarnya tak ada. Aku hanya menuggu jiwa
ku datang. Memberi ketenangan pada batin ku. Yang kini telah luluh-lantak. Pikiran
ku merkecamuk. Ini semua karena ulah mu. Ketika kau datang membawa mawar putih dan
seikat janji untuk ku.
Dulu kau datang membawa mawar putih.
Mempersembahkannya kepada ku. Aku selalu bertanya pada mu. Mengapa mawar putih?
Dan kau menjawab, ”Mawar putih menggambarkan sucinya cinta ku pada mu.” Aku
tersenyum. Lalu kau berkata lagi, ”putih itu adalah lambang, bahwa langkah kita
dalam cinta suci ini akan indah selamnya.” Hatiku melayang. Berbunga-bunga. Aku
sedang jatuh cinta. Begitu bahagia. Kau senantiasa memberi kabar terbaik untuk
ku. Bercerita tentang indahnya mahligai cinta. Barnyanyi lagu rindu. Kau
sempurna. Begitulah yang ku rasa saat itu.
Namun semuanya musnah. Bila ku tahu kau
adalah pendusta. Kau pengkhianat. Kau tega memberi harapan palsu kepada ku. Kau
telah memporak-porandakan mahligai cinta. Cinta yang kau kata suci seperti
mawar tadi. Dan kini ku tahu, mahligai yang selalu kau cerita itu adalah
mahligai pasir. Yang tak bisa bertahan lama. Ketika gelombang menerpa, seketika
itu pula mahligai itu runtuh.
Kini, ku tak lagi berpesan pada angin,
meyampaikan salam rindu pada mu. Karena ku tahu, kau tak menantikannya. Dan
nanti bila kita bertemu, aku kan berpaling wajah. Aku tak mau menatap mu. Aku
takut masa indah dulu melintas dalam benakku. Aku kan bersahaja. Berupaya bahwa
tak pernah terjadi apa-apa antara kita. Tak ada cinta, tak ada janji, dan tak ada
rindu.
Malam semakin larut. Aku tak mampu menahan
rasa kantuk ini. Aku terlelap. Dan ketika aku terjaga, mentari sudah tinggi.
Sosok lelaki sedang menanti ku diluar sana. Hatiku bertanya, ”Siapa dia?
Mengapa dia kesini?”, dan tak kuduga, sosok itu adalah kau. Kau datang.
”Mengapa kau datang?” tanya hati ku. “Apa kau telah lupa, semalam kau telah
mengecewakan ku?”
Lalu ku bukakan pintu, kau tersenyum. Tidak
pun ku menyapa mu, apatah lagi menyuruh kau masuk. Tapi kau dengan wajah polos
mu, seperti tak berdosa, melangkah masuk kerumah ku. Kau kelihatannya
biasa-biasa saja. Mengambil minum, lalu duduk, tanpa ku suruh. Aku masih
tercengang. Tak beranjak dari posisi berdiriku. Kini giliran mu menatap ku
heran. Lalu bertanya, ”Apa kau tak sudi aku di sini?” aku tak menjawab. Aku
masih bingung. Kau lupa atau kau sengaja melupakan kejadian semalam. Kemudian
aku duduk. Mencari jarak yang jauh dari mu. Dan kau meneguk minuman yang kau
tuang sendiri.
Mungkin kau masih bertanya mengapa aku
bungkam? Aku diam? Aku acuh pada mu? Tak ada suara menyapa mu. Tak ada tanya.
Tak lagi merungut semauku. Seperti yang selalu ku lakukan ketika aku kesal
padamu. Kini tak lagi. Tak akan.
Jangankan untuk menatap mata mu,
membayangkan sekilas wajah mu aku sakit. Aku ingin sekali mengubur semua
kenangan antara kita. Namun aku belum mampu menghapus bayang-bayang mu. Dan dimasa
suram ini, aku membenci kata cinta. Aku dilema dengan janji-janji. Janji palsu
sang pendusta seperti mu. Andai ku bisa, ingin ku mengulang waktu sesaat, kan
ku benam kau jauh dari benak ku. Hingga hidungku tak lagi mencium bau pendusta
seperti mu.
Esok harinya, aku mencoba bangkit dari
keterpurukan ini. Melangkah lebih pasti. Melenggangkan tangan dengan santai.
Aku ingin jiwa ini lebih tenang. Aku pergi meninggalkan halaman rumah. Menuju
tempat ku meniti karir. Tempat ku berkerja. Langkah ku santai. Sesekali bayang
wajah mu melintas. Lalu ku tepis. Lalu melintas lagi. Aku berhenti sejenak. Aku
memejamkan mataku. Dalam hatiku bertekat, ”Lupa! aku harus melupakan dia!” aku
pun melanjutkan perjalanan ku. Hingga sampai pada tujuanku.
Aku berusaha menenangkan diri. Fokus pada
pekerjaan ku. Tapi sialnya, saat aku ingin membuang jauh bayangan mu, malah kau
datang. Kau datang bersama dia. Wanita yang telah merebut kebahagiaan ku. Kau mendekat
dan tersenyum pada ku. Seperti yang selalu kau lakukan kepada ku. Kau datang
menyapa dan membawa bunga mawar putih.
Tapi kali ini tidak. Kau tak kelihatan
membawa mawar putih itu. Ya, aku tahu. Mawar putih mu bukan lagi untuk ku. Tapi
untuk wanita lain. wanita yang kini ada bersama mu. ”Tapi mengapa kau datang
lagi. Bukan kah kau telah mengatakan kalau aku tak layak untuk mu. Dan dia,
wanita itu lebih baik dariku?” batin ku masih tertanya-tanya.
Kau mendekat. Bertanya kabar ku. Aku
berpura tidak mendengar dan melihat kalian berdua. Kau semakin mendekat. Entah
apa tujuan mu, aku tak mengerti. Lalu kau memegang tangan ku. Dada ku berdetak
kencang. Sedang wanita itu hanya diam menyaksi akting mu. ”Maafkan aku”
tiba-tiba kau mengatakan itu. Aku tersentak. Amarah ku semakin memuncak. Nafas
ku semakin laju. Begitu mudahnya kau mengatakan “maaf”. Ya, memaafkan gampang.
Tapi melupakan kejadian itu tak segampang itu.
Aku tak membalas kata mu, aku pergi. Berlari
menjauh dari mu. Aku takut, takut bila aku tak mampu menahan emosi. Sungguh
rasa ini luar biasa. Aku benar-benar kecewa pernah mengenal sosok insan seperti
mu.
Pikiran ku kalut. Aku heran mengapa aku
begitu kecewa. Mungkin karena kau yang pertama memberi ku cinta. Dan kau pula
yang pertama mengkhianatinya. Aku menangis. Tubuh ku menggigil. Rasanya begitu
sakit. Kesal ku begitu kental rasanya.
Dada ku sesak. Sepertinya ada asap tebal yang menumpuk di rongga paru-paruku.
Sedangkan jantung ini tak lagi kuat memompa darah. Nafasku tersendat. Begitu
nyesak dada ini. Begitulah rasanya tiap kali aku menatap mu.
Tanpa fikir panjang, aku memotong jari
manis di tangan kiri ku. aku seperti tidak sadar. Rasanya perih. Sama dengan
rasa hati ku. Daranya berceceran. kalian melihat kejadian itu. Lalu mendekat
pada ku. Kau dan mereka bisa saja menganggap ku gila. Karena aku telah memotong
jari manis ku. Memangnya kau tahu apa alasan ku. Tidak kan? Kalian tidak tahu.
Aku hanya pada jari ini. Jari yang dulu pernah mengikat janji antara kita. Kini
janji itu lenyap. Dan aku, harus melenyapkan pengikatnya.
Selesai.
0 komentar:
Posting Komentar