Pepatah Melayu menyebutkan “tuah ayam nampak di kaki, tuah manusia siapa yang tahu”. Ungkapan tersebut molek1 benar diungkapkan dalam kisah ini. Kisah tentang seorang nelayan yang berkehidupan sederhana. Makan minum pas-pasan. Seseorang yang menjadi tulang punggung keluarga. Namanya pak Ramli. Mencari makan dengan menghandalkan penghasilan laut, menangkap ikan.
Usianya kini hampir setengah abad. Memiliki kehidupan pas-pasannya, tak pernah membuat Pak Ramli mengeluh. Dia berusaha sabar dengan kekurangan yang mereka miliki. Satu hal yang selalu bapak tua itu ajarkan pada anak dan istrinya, ”bahwa rezki, ajal, dan maut di tangan Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a.” Dengan pegangngan itu membuat mereka tak pernah berputus asa. Apa lagi mengeluh. Baginya usaha dan do’a adalah jalan terbaik yang harus dilakukan oleh setiap manusia.
Pak Ramli memiliki lima orang anak. Anak sulung2 dan anak keduanya telah meninggal. Anak pertama laki-laki, meninggal saat masih kecil lagi. Akibat demam panas. Sedangkan anak kedua perempuan. Juga telah meninggal dua tahun yang lalu, karena kecelakaan lalu lintas. Kini tersisa tiga orang, dua laki-laki dan satu perempuan. Dua diantaranya duduk di bangku SD. Sedangkan si bungsu3 usianya baru saja menginjak enam tahun.
Pak Ramli adalah orang tua yang baik, penyabar, dan pekerja keras. Namun ia tak mampu berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Keterampilan yang ia miliki hanyalah melaut. Saat fajar menyonsong pagi, ia bergegas untuk melaut. Menangkap ikan dan udang dengan sebuah sampan kecil dan peralatan yang sederhana. Telah menjadi rutinitas sehari-harinya.
Pagi itu, sambil meneguk secawan kopi buatan Asmah, sang istri tercinta, pak Ramli berkata, ”mudah-mudahan hari ni angin tak kuat Mah, seminggu abang di rumah angin kuat.” Katanya dengan ekspresi datar. ”Munsim angin bang? Banyak atom ni,” sambut istrinya. “Tapi air surut dah siang betul. Mau tengah hari baru surutnyo,” sambutnya sambil bergegas mengambil bekal yang telah disiapkan istrinya. ”Abang pegi dulu Mah, katanya,” melangkah laju dalam keheningan subuh.
Hari ini, tepatnya 13 Mei 2013. Pak Ramli memulai aktifitas seperti biasa. Sesampainya di dermaga, dia lansung membuka tambang pengikat sampan. Sambil membaca bismillah ia mendorong sampannya sampai ke ujung kuala. Dengan dayungnya ia menolak tepi tebing menentang pasang yang mulai megolak4. Keadaan masih sama seperti hari-hari sebelunya. Pak Ramli adalah nelayan pertama yang keluar dari tempatnya. Sedangkan nelayan lai belum kelihatan. Bak kata orang Melayu, masih belum nampak batang hidung.
Bapak tua itu mendayung sampannya. Butuh waktu lama untuk sampai ketengah. Tengah Selat Bengkalis. Kemudian mulai menebar jaring. Berharap agar banyak ikan tersagkut di jaringnya hari ini. Setelah selesa, ia pun duduk. Sambil menunggu jaring yang ia tagan5, aktifitas yang dilakukan adalah mubol6. Entah apa yang sedang ia pikirkan, sesekali ia menoleh kekiri dan kekanan. Hanya hamparan laut yang ia lihat. Ombak pasang masih saja mengoyang sampannya.
Matahari mulai naik. Menyengati kulit kriput bapak tua itu. Ia masih melanjutkan mubol. Robek di jaringnya masih banyak dan panjang. Jaringnya robek karena tersangkut batu karang dan sampah-sampah yang ada di laut. Selain itu juga karena angin, tapi ia tak kuasa menyesali. Hantaman gelombang dan badai sudah menjadi resiko nelayan seperti mereka.
Setelah beberapa lama ia menunggu, kini saatnya ia melihat hasilnya. Dia mulai berdiri, melihat kiri dan kanannya. Ternyata nelayan yang lain sudah kelihatan. Mereka baru saja mulai menebar jaring. Pak Ramli dulu selakangkah. Sampannya berpatah arah. Kini melawan arus laut. Arus surut. Dengan penuh semangat ia menarik jaring. Harapannya besar sekali untuk mendapan ikan yang banyak. Tarikan ketiga barulah terlihat seekor gelama7 berukuran sedang dan dua ekor anak lomek8. Ia mulai menarik kembali. Namun hanya sampah dan rumput laun dan beberapa ekor lomek lagi yang naik.
Ia masih tak berputus asa. Gerakan tangannya ia percepatkan. Tiga utas9 jaringnya kini sudah terangkat semua. Namun hasilnya tidak memuaskan hati. Harapannya kini hanya pada utasan jaring terakhir. Jaring ke empat. Namun hasilnya juga sama. Dua ekor anak selidah10 dan beberapa ekor lomek. Ia menghembus napas panjang. Bapak tua ini bernasip kurang baik. Kali ini tidak banyak ikan yang terjerat dijaringnya.
Keringat meleleh ditepi pelipisnya11. Ia itu kelihatan lelah sekali. Lelah yang bercampur kecewa. Pikirannya mulai tidak tenang. Apa yang mahu dijual hari ini untuk membeli beras??? seminggu yang lalu ia demam, tak bisa melaut. Menyebabkan simpanan beras mereka habis. Ikan yang ia dapat pagi ini masih belum cukup untuk membeli sekilo beras. Walaupun beras dengan harga yang paling murah, delapan ribu rupiah.
Bapak tua itu kini mendayung sampannya kesebelah hulu12. Mendekati nelayan yang lain. Dengan penuh harapan pak Ramli mulai menabur jaringnya. Dari hulu melintang hingga kearah hilir13. Berharap besar, akan ada ikan yang sangkut dijarinya. Terbawa surut. Sambil melempar jaring, terdengar seseorang menyapanya. ”Apo cito Wak14? Banyak dapat?” sapa pak Dolah. Ia menoleh, lalu menjawab singkat, ”Dapat siket”. Pak Dolah heran. Tidak biasa temannya seperti itu. ”Ai, macam tak semangat ajo aku tengok, demam lagi?” sambungnya dengan nada bercanda. Pak Ramli menoleh, lalu menjawab, ”badan tak demam lagi do Wak, kocik yang sekarat.hee…” Dari keduanya pecah tawa. Canda yang berusaha menepis kerisauan hatinya. Menepis rasa lelah dari terik matahari.
Selesai menebar jaring, pak Ramli melihat ke atas. Matahari kini tepat berada ditengah-tengah kepala. Tanda hari sudah tengah hari. Ia pun membentang kajang15 untuk tempat berteduh. Karena tak sanggup lagi menahan terik matahari. Kemudian ia duduk. Meneguk air putih yang dibelakkan istrinya. Lalu membuka bekal16 yang ia bawa. Nasi putih, ikan masin, ulam17 daun ubi rebus, lawan dengan sambal belacan, menjadi menu siang ini. Menu yang sangat ia senangi.
Pak Ramli dengan lahap menyantap bekalnya. Hingga selesai, tak seulas nasi pun tersisa. Entah karena sambal belacan kesukaannya, atau ia memang sedang lapar. Hingga linsailah18 semua yang dibekali istrinya. Ia masih berteduh di bawak kajangnya. Kajang usang yang dibelinya setahun yang lalu. Sejenak kemudian, tangannya meraih kantong plastik berwarna hitam yang berada dalam peti sampannya. Kantong itu berisi tembakau dan kertasnya. Pak Ramli mulai melentengi tembakau itu. Lalu membakar dan menghisapnya. Matanya sendu, seperti orang kecanduan. Ia benar, dia memang seorang yang kecanduan tembakau. Jika setengah hari ia tidak merokok, bibirnya panas, dan tenggorokannya pahit, katanya.
Selenteng tembakau tak sempat terhabiskan. Ia pun terlelap bawah kajang. Ayunan gelombang membuat ia tertidur pulas19. Lupa diri, dunia dan segalannya. Letih pun sedikit terobatai. Namun kenikmatan itu tak bisa ia lanjutkan. Ia harus bangun, dan melanjutkan pekerjaannya. Jaring yang ia tagan20 tiga jam yang lalu sudah harus dilihat. Ini adalah kesempatan terakhirnya. Jika hasil yang ia dapatkan tidak memuaskan, terpaksa ia harus mencari liang21 lain. Liang yang bisa menghasilkan uang. Apa pun itu, baginya yang penting halal.
Pak Ramli bangun dari tidurnya. Mengambil botol, dan meneguk air kopi yang dibawanya dari rumah. Sunguh nikmat. Lalu ia berdiri, dan mulai mematah luan22 sampannya. Dia kembali menarik utasan jaring yang sudah ia tagan. Kali ini tarikan utusan pertama membuat bapak tua itu tersenyum. Hatinya sedikit tenang. Berharap tarikan pada jaring berikutnya lebih dari yang telah ia dapatkan. Ia mulai menarik kembali jaringnya, tapi kosong. Utas kedua hanya dua anak biang23 yang tersangkut. Namun ia tak berhenti. Dia masih berharap pada utasan ketiga dan keempat. Utasan terakhir jaring yang ia tagan.
Pak Ramli terpegun sejenak. Menatap jauh ke ujung pancang24 pertama. Dari kejauhan itu ia melihat sesuatu. Sesuatu yang tidak tahu apa bendanya. Warna yang buruk membuat bapak tua itu berfikir itu adalah balak, atau kayu besar yang tersangkut di jaringnya. Dalam hatinya berkata, ”habislah.” Jika benar itu adalah kayu besar, maka petaka baginya. Bagaimana tidak, kayu yang tersangkut itu pasti akan merobek jaringnya dan itu pasti merugikan dirinya.
Dia kembali menarik jaringnya. Kini tarikannya tak sesemangat tadi. Seakan tidak percaya bahwa ikan tak sudi singgah25 di jaringnya hari ini. Sampailah tarikannya pada utus jaring keempat. Utas jaring yang disangkanya tersangkut kayu besar. Namun sangkaan itu salah sama sekali. Benda besar yang tersangkut di jaringnya itu bukanlah kayu besar. Melaikan besi tua. Ya, besi tua yang bentuknya seperti tabung oksigen yang berada di bengkel-bengkel. Besi yang sudah berkarat.
Wajah tua yang kriput itu tiba-tiba saja tersenyum. Entah pa sebabnya. Berbanding jauh dengan waktu pertamanya ia melihat benda itu. Ia tersenyum lebar. Tiba-tiba ia berkata ”Alhamdullilah…terima kasih ya Allah. Hari ini tak Kau kirimkan ikan kepadaku, namun kau kirimkan ini untuk rezki ku hari ini.” Dengan semangat ia melepaskan lilitan jaring yang tersangkut pada besi tua itu. Dia mencoba mengangkat besi itu kedalam sampannya. Namun tidak berhasil. Tenaganya tak kuat.
Benda yang ia fikir adalah bala, rupanya rezki. Besi tua yang berukuran besar, dengan panjang sekitar 1,8 meter dan berdiameter 40 centimeter, diikatnya di belakang sampan. Rencananya besi tua itu akan dijualnya kepada tukang besi buruk. Lumayan uangnya untuk belanja dapur. Lalu ia melanjutkan menarik jaring yang tersisa sedikit lagi. Kini ia tak berharap banyak untuk mendapatkan ikan lagi. Baginya bongkahan besi sebesar itu sudah lebih dari cukup untuk membeli bekalan beras satu minggu.
Pekerjaannya pun selesai. Setelah semua jaring ia naikkan, dan besi tua itu ia ikatkan di belakang sampan, ia pun mengmbil dayung. Mendayung dengan tenaga yang tersisa hari ini untuk sampai di pantai. Jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Paling tidak membutuhkan waktu tiga jam untuk sampai di kampung mereka. Tapi bapak tua ini sedikit terbantu dengan air yang sebentar lagi akan mengolak 26 pasang.
Sebentar-sebebtar ia menoleh kebelakang. Takut akn ikatan pada besi itu terlepas. Ayunan tangan mendayung ia percepatkan. Hingga tak terasa pantai tempatnya berlabuh sudah kelihatan. Dayungannya sedikit ia perlambatkan. Dengan Menunggu air penuh di kuala. Dengan begitu ia akan lebih mudah untuk mengangkat besi tua itu ke tebing. Dari kejauhan ia melihat beberapa anak kecil, membawa guni berwarna putih. Ia telah menebak itu adalah anak-anaknya, yang baru menyusuri pantai. Memunguti plastik dan botol-botol bekas yang terdampar di pantai saat surut tadi. Kini pasang kembali, mengantarkan rezki kepada pemulung seperti anak-anaknya.
Bapak tua itu sebenarnya tak ingin melihat anak-anaknya menjadi seperti gembel. Memunguti barang-barang bekas untuk dijual. Jauh dilubuk hatinya, ia ingin melihat anak-anaknya konsentrasi pada pelajaran. Namun ia tak juga mampu menghalanginya. Ia sadar bahwa itu semua karena kesalahannya sendiri. Ia tak mampu memberi nafkah yang cukup pada anak dan istrinya. Uang jajan sekolah pun mereka jarang diberi. Sebab itulah Pak Ramli tak pernah menghalangi anaknya. Dengan menjual plastik dan botol bekas, mereka bisa membeli jajan seperti teman-teman yang lain. Bahkan peralatan sekolah pun mereka beli dangan hasil peluh mereka sendiri.
Pak Ramli pun tiba di dermaga pantainya. Di situ ramai orang yang sedang berkumpul. Ada tokeh27 yang sedang menunggu anak buahnya membawa hasil tangkapan. Ada pula ibu-ibu yang sedang mengambil kayu laut untuk dijadikan kayu bakar. Air di tebing sudah mulai dalam. Dilempar tali tambang pada sebuah pancang. Pancang kayu bakau. Lalu diikat. Kemudian ia mengambil tali yang satu lagi dan melemparnya pada sebatang pohon api-api. Diikat kuat.
Pak Ramli melihat kiri dan kanan. Seperti kebingungan. Orang-orang yang ada di dermaga melihat tingkahnya. Kemudian terdengar suara tawa kecil dari sana. Orang-orang itu menertawakan pak Ramli. Lalu ada yang menyapa, ”ngapo pak? Macam orang luo pulak, salah masuk?” candanya sambil tersenyum. Pak Ramli menjawab, ”tidak do, tak dapat akal aku nak ngangkat ini ha. Tolong aku kejap Man.” Pak Ramli meminta seseorang yang ada di dermaga menolongnya. Azman. ”Tolong apo namonyo?” Tanya Azman. ”Ini ha, tolong angkat tabung gas ke atas. Sendiri tak telap ni do,” jelasnya. Tanpa bertempoh lagi Azman pun berdiri, menjuju sampan pak Ramli.
”Apo namo ne pak? Beso betol?” tanya Azman, heran. ”Entah, tabung oksigen tu dak,” Jawabnya acuh tak acuh. Berbeda dengan Azman, ia seakan berfikir keras untuk mencari tahu apakah benda besar yang sedang ia lihat. ”Usah pikir tu lagi, ha cepat angkat.” Pinta Pak Ramli sambil mengangkat ujung besi tua itu. Dengan cepat Azman menyambut pangkalnya. Lalu besi tua yang sudah berkarat itu mereka bawa ke atas dermaga.
Azman masih penasaran. Diperhatinya betul bentuk tabung besi itu. Kelihatannya sepeti serius sekali. Pak Ramli tidak mempedulinya. Ia turun lagi kesampan dan mengambil ikan hasil tangkapannya untuk di bawa pulang. Tiba-tiba Azman berkata, ”ini bukan tabung oksigen ni pak. Kalau oksigen ngapo bemocong pulak?!?” Pak Ramli tetap saja tak menghiraukannya. Apa pun itu baginya adalah besi tua yang bisa di jual dan menghasikan uang.
Azman memanggil orang-orang yang ada di dermaga. Berusaha mengajak orang-orang disitu untuk menjawab apakah benda besar yang sudakah berkarat itu. Unjungnya berwarna merah, terbuat dari plastik. Beberapa dari mereka yang ada di dermaga datang, melihat lebih dekat besi tua iu. Mereka memerhatikan bentu benda aneh itu. Beberepa saat ada yang bersuara, ”ini boom ni!.” Membuat orang disekitar situ kaget. Mereka yang tadi tak mempedulikannya, bergegas datang. Mencoba mencari jawaban atau mungkin kebenaran dari ucap salah seorang dari mereka yang mengatakan itu adalah boom. Pak Ramli pun bergegas mendekati kerumunan orang disitu. Jauh dari fikirannya kalau besi tua yang ia bawa sejauh itu tadi adalah boom.
Azman membenarkan kata salah satu dari mereka. Benar ini boom. Sedari awal ia telah mencurigai benda itu. Tapi tak menemukan jawaban. Sebentar saja hebohlah kabar itu. Pak Ramli nelayan tradisional menemukan boom di laut. Orang-orang di desa mereka berbondong-bondong datang untuk melihat sendiri. Azman dan seseorang yang menduga benda besar itu boom mulai kebinggungan. Rasa cemas kini menghantui mereka.
Azman adalah anak muda berpendidikan. Ia lulusan sarjana disalah satu Universitas Provinsi mereka. Sebagai orang yang berpendidikan, ia merasa bertanggung jawab untuk mencari kebenaran tentang dugaan itu. Ia pun berdiri, mengambil handphon dari sakunya. Dia menghubungi polisi setempat, yang lain tidak bukan adalah familinya juga. Sementara masyarakat semakin ramai mendatangi dermaga. Sedangkan Pak Ramli tak mampu berbuat banyak. Beberapa orang menanyakan kepadanya, bagaimana ia menemukan benda itu, termasuk pak Kades.
Beberapa waktu kemudian, Limnas, anggota Koramil dan pihak kepolisian datang. Mereka datang untuk mengevakuasi besi tua yang diduga boom. Pihak kepolisian dan Koramil mengesahkan, bahwa benar besi tua itu adalah boom. Boom Mortir. Masih aktif dan diduga memiliki daya ledak tinggi. Dilihat secara fisik, benda itu memang sudah berkarat. Namun pihak kepolisian berpendapat boom itu belum cukup lama. Hingga masih aktif hingga hari ini, Mei 2013. Dari keterangan tersebut ada massa menduga, bahwa itu adalah nuklir, dengan ledakan tinggi. Ledakannya bahkan mampu menghancurkan satu pulau Bengkalis.
Pak Ramli belum juga habis fikir. Dia tak berkata apa-apa saat polisi dan Koramil mengevakuasi besi tua miliknya. Namun dalam fikirannya bermacam-macam yang ia fikir. Rasa takut dan senang tak mampu ia bedakan. Setelah menyatakan bahwa benar itu adalah boom yang masih aktif. Pihak kepolisian pun segera mengamankan. Besi tua itu dibawa kesalah satu tempat pengaman. Di tempat pengaman, boom itu akan di non aktifkan. Sehingga masyarakat tidak perlu khawatir. Dalam waktu singkat itu juga wartawan datang, Pak Ramli dimintai keterangan.
Beberapa hari setelah kejadian itu pun, Pak Ramli masih di datangi tamu. Baik dari media masa maupun masarakat umum. Bahkan pak Ramli di undang oleh Bupati Bengkalis untuk menerima penghargaan dan sedikit tanda terima kasih dari masyarakat Bengkalis. Pak Ramli bangga. Tak hentinya ia bersyukur. Ia telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa masyarakat Negeri Junjungan. Dalam hatinya berkata, ”memang Bengkalis Kota Bertuah.” Bagaimana tak bertuah, andaikan saja boom Mortir itu tak ditemukan, kemungkinan besar akan terjadi ledakan. Bukankah itu adalah petaka. Terukir senyuman diwajah Pak Ramli. Senyum kebanggaan mengiringi langkah kaki saat keluar dari kantor Bupati. Penghargaan dan sedikit uang yang ia terima tak sabar akan ditunjukkan kepada anak dan istrinya.
Selesai.
0 komentar:
Posting Komentar