Terkubur Niat Bersama Jasad

|
“Innalillahirojiun…” hanya itu kata yang mampu di ucapkan saat melihat sekujur tubuh terbaring di atas tikar pandan putih. Semua yang ada disitu menunduk, menumpahkan air mata tanpa suara. Tadi malam sekitar pukul 21.45, Wan Nimah menghembuskan nafas terakhirnya. Di rumah pusaka peninggalan suaminya. Jasadnya akan dikebumikan siang ini. Terkuburlah niat untuk mengunjungi rumah Allah bersama jasad. Niat yang telah bertahun-tahun dipendamnya. Akhirnya tidak kesampaian juga.

Dia adalah seorang ibu tunggal yang hidup bersama dua cucunya. Ani 13 tahun, dan Amin 7 tahun. Suami Wan Nimah telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu akibat sakit tua. Sementara anak perempuan tunggalnya juga telah telah meninggal dunia saat melahirkan anak terakhirnya, Amin. Sedangkan menantunya, yaitu ayah kepada Ani dan Amin telah menikah lagi dengan wanita lain. Dan tidak pernah mengirim kabar apa pun kepada mereka. Kini tinggallah Ani dan adiknya. Hidup sebagai yatim piatu. Tiada lagi tempat menumpang hidup dan mengadu nasip.

Kerelaan Ayah

|
Dua hari yang lalu, desa kami dihebohkan dengan kehilangan beberapa utas jaring. Kabar itu begitu cepat beredar. Bersama angin laut yang menerpa semua fakta dan kian menjadi cerita. Emak mendengar kabar itu dari tetangga kami. Tapi apa yang didengar bukanlah sekadar cerita. Melainkan fakta yang begitu menyayat hati. Menurut cerita Mak Timah, tetangga kami, ayahlah sang pencuri jaring itu. Jaring milik Pak Ahmad, ketua nelayan desa kami.

“Aku bukan hendak menuduh suami mu, Jah.” Kata Mak Timah sambil memegang pundak Emak. “Tapi apa yang aku dengar ini mungkin lebih baik aku ceritakan kepada mu sebelum orang lain bercerita”. Emak hanya diam dan menundukkan wajah saat Mak Timah berkata kepadanya.

“Ceritalah, kak. Aku pun ingin mendengarnya”. Suara Emak pelan. “Betul kau tak marah dengan apa yang inginku katakan?”. Sambut Mak Timah. “Tidak, apa hendak dimarah. Aku pun telah mendengar kabar ini sebelumnya”. Jawab Emak sambil menatap hampa ladang padi yang menghijau.

Boom Di Negeri Bertuah

|
Pepatah Melayu menyebutkan “tuah ayam nampak di kaki, tuah manusia siapa yang tahu”. Ungkapan tersebut molek1 benar diungkapkan dalam kisah ini. Kisah tentang seorang nelayan yang berkehidupan sederhana. Makan minum pas-pasan. Seseorang yang menjadi tulang punggung keluarga. Namanya pak Ramli. Mencari makan dengan menghandalkan penghasilan laut, menangkap ikan.

Usianya kini hampir setengah abad. Memiliki kehidupan pas-pasannya, tak pernah membuat Pak Ramli mengeluh. Dia berusaha sabar dengan kekurangan yang mereka miliki. Satu hal yang selalu bapak tua itu ajarkan pada anak dan istrinya, ”bahwa rezki, ajal, dan maut di tangan Tuhan. Manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a.” Dengan pegangngan itu membuat mereka tak pernah berputus asa. Apa lagi mengeluh. Baginya usaha dan do’a adalah jalan terbaik yang harus dilakukan oleh setiap manusia.

Sebait Kisah Tentangmu

|
Waktu terus saja berjalan. Detik jarum jam dinding itu bunyinya masih sama. Sesekali ia berdenting keras, tanda bergantinya angka. Dan aku masih disini. Tetap disini, dan akan selalu disini. Entah apa yang ku tunggu. Aku ragu. Sebenarnya tak ada. Aku hanya menuggu jiwa ku datang. Memberi ketenangan pada batin ku. Yang kini telah luluh-lantak. Pikiran ku merkecamuk. Ini semua karena ulah mu. Ketika kau datang membawa mawar putih dan seikat janji untuk ku.
Dulu kau datang membawa mawar putih. Mempersembahkannya kepada ku. Aku selalu bertanya pada mu. Mengapa mawar putih? Dan kau menjawab, ”Mawar putih menggambarkan sucinya cinta ku pada mu.” Aku tersenyum. Lalu kau berkata lagi, ”putih itu adalah lambang, bahwa langkah kita dalam cinta suci ini akan indah selamnya.” Hatiku melayang. Berbunga-bunga. Aku sedang jatuh cinta. Begitu bahagia. Kau senantiasa memberi kabar terbaik untuk ku. Bercerita tentang indahnya mahligai cinta. Barnyanyi lagu rindu. Kau sempurna. Begitulah yang ku rasa saat itu.