Sudah menjadi hal biasa, bila berganti kepala negara maka akan ada kenaikan BBM. BBM naik bukan tak beralasan. Dan alasan kenaikan BBM itu wajar-wajar saja dan bisa di terima oleh logika kita yang bisa berfikir positif. Tapi ada hal yang tak lazim dari kenaikan BBM ini. Bahkan lucunya, baru saja issu kenaikan BBM maka mulailah BBM langka. Pasokan BBM setiap hari datang itu, lenyap. Bagaikan ditelan bumi. BBM dibekap oleh oknum-oknum tertentu. Oknum yang tak tamak. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan keuntungan yang banyak.
Kenaikan BBM menimbulkan berbagai persepsi dari masyarakat. Tanggapan mereka juga akan berbeda. Tanggapan itu sesuai dengan status sosial. Bagi mereka yang statusnya adalah PNS, mereka sah-sah saja BBM naik. Tidak masalah bagi mereka. BBM naik malah menjadi keuntungan tersendiri, karena dengan kenaikan BBM secara logika gaji mereka juga akan naik. Insentif akan bertambah secara otomatis karena naiknya gaji.
Kemudian bagi mereka para buruh pabrik swasta juga seperti itu. Kenaikan BBM bukan masalah bagi meraka. Toh mereka akan menuntut kenaikan UMP pada perusahann yang mempekerjakan mereka. Tapi, bagaimana nasib mereka yang wirausaha? petani? nelayan?.
Kenaikan BBM adalah beban bagi mereka. “Mengapa?” Pastinya tanda tanya besar bagi Anda para pembaca. Bagaimana tidak. Lagi-lagi disini masalahnya adalah ketidak adilan bagi mereka. Ketidak adilan yang pernah saya sampaikan dulu. Lalu Anda bertanya lagi, “ketidak adilan apa yang saya maksudkan?”. Coba sejenak setelah Anda membaca tulisan ini,ada renungkan.
BBM naik, otomatis bahan pangan yang merupakan kebutuhan pokok kita akan naik. Alasannya karena transportasi. Tetapi adakah para petinggi negara memikirkan, “BBM naik maka akan ada kenaikan harga jual hasil bumi seperti karet, pinang, kelapa, sawit, dan lain sebagainya?”. Apa ada yang memikirkan itu. Tidak wajar rasanya bila BBM naik, tapi penjualan hasil bumi tidak naik.
Jika kita bandingkan, kabarnya harga BBM akan dua kali lipat dari harga jual karet. Harga karet Rp.5.000; per kilogramnya, sedangkan BBM kabarnya akan naik menjadi Rp.9.500;. “Apa tidak makan tanah mereka para petani?” belum lagi masalah nelayan yang menggunakan benzin untuk melaut. Satu hari berapa liter benzin yang akan mereka gunakan? Sedangkan hasil laut mereka dibeli dengan harga murah. Terkadang yang lebih memprihatinkan, apabila dalam satu hari mereka tidak mandapat hasil tangkapan yang memadai. Mungkin kurang beruntung atau sebab-sebab lain. Berapa kerugian yang akan mereka tanggung? “Apa tidak makan tanah juga para nelayan kita nanti?”.
Hasil bumi yang mereka jual tidak sebanding dengan kebutuhan yang akan mereka beli. Apa pernah, para petinggi kita memikirkan hal spele, hal simpel, bahkan hal kecil seperti ini. Mungkin saja tidak, karena mereka tak bernasib seperti nelayan dan petani.
Tidak salah bila SDM kita, yang tenaganya luar biasa dan kretifitasnya tinggi, menumpang hidup di negara tetangga. Mereka merasa periuk nasik mereka bukan di buminya sendiri. Tetapi ada dibumi orang. Mereka lebih memilih untuk merantau, bela-bela meninggalkan anak istri bertahun-tahun untuk mencari rizki halal di negeri orang demi sesuap nasik anak istri mereka. Demi mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin hari jumlahnya akan bertambah. Bila mereka hanya mengaharap hasil kerja dibumi Indonesia yang katanya kaya ini, maka tidak akan mampu mereka menyekolahkan anak-anak mereka, tidak akan mampu mereka hidup sejahtera, karena ketidak adilan itu penyebabnya. Coba Anda yang bisa berfikir baik, bisa berfikir dengan hati, pertanyakan “wajarkah kenaikan BBM tanpa kenaikan harga jual hasil bumi?” bila tidak sebanding, “maka makan tanahlah wong deso”.
Kenaikan BBM menimbulkan berbagai persepsi dari masyarakat. Tanggapan mereka juga akan berbeda. Tanggapan itu sesuai dengan status sosial. Bagi mereka yang statusnya adalah PNS, mereka sah-sah saja BBM naik. Tidak masalah bagi mereka. BBM naik malah menjadi keuntungan tersendiri, karena dengan kenaikan BBM secara logika gaji mereka juga akan naik. Insentif akan bertambah secara otomatis karena naiknya gaji.
Kemudian bagi mereka para buruh pabrik swasta juga seperti itu. Kenaikan BBM bukan masalah bagi meraka. Toh mereka akan menuntut kenaikan UMP pada perusahann yang mempekerjakan mereka. Tapi, bagaimana nasib mereka yang wirausaha? petani? nelayan?.
Kenaikan BBM adalah beban bagi mereka. “Mengapa?” Pastinya tanda tanya besar bagi Anda para pembaca. Bagaimana tidak. Lagi-lagi disini masalahnya adalah ketidak adilan bagi mereka. Ketidak adilan yang pernah saya sampaikan dulu. Lalu Anda bertanya lagi, “ketidak adilan apa yang saya maksudkan?”. Coba sejenak setelah Anda membaca tulisan ini,ada renungkan.
BBM naik, otomatis bahan pangan yang merupakan kebutuhan pokok kita akan naik. Alasannya karena transportasi. Tetapi adakah para petinggi negara memikirkan, “BBM naik maka akan ada kenaikan harga jual hasil bumi seperti karet, pinang, kelapa, sawit, dan lain sebagainya?”. Apa ada yang memikirkan itu. Tidak wajar rasanya bila BBM naik, tapi penjualan hasil bumi tidak naik.
Jika kita bandingkan, kabarnya harga BBM akan dua kali lipat dari harga jual karet. Harga karet Rp.5.000; per kilogramnya, sedangkan BBM kabarnya akan naik menjadi Rp.9.500;. “Apa tidak makan tanah mereka para petani?” belum lagi masalah nelayan yang menggunakan benzin untuk melaut. Satu hari berapa liter benzin yang akan mereka gunakan? Sedangkan hasil laut mereka dibeli dengan harga murah. Terkadang yang lebih memprihatinkan, apabila dalam satu hari mereka tidak mandapat hasil tangkapan yang memadai. Mungkin kurang beruntung atau sebab-sebab lain. Berapa kerugian yang akan mereka tanggung? “Apa tidak makan tanah juga para nelayan kita nanti?”.
Hasil bumi yang mereka jual tidak sebanding dengan kebutuhan yang akan mereka beli. Apa pernah, para petinggi kita memikirkan hal spele, hal simpel, bahkan hal kecil seperti ini. Mungkin saja tidak, karena mereka tak bernasib seperti nelayan dan petani.
Tidak salah bila SDM kita, yang tenaganya luar biasa dan kretifitasnya tinggi, menumpang hidup di negara tetangga. Mereka merasa periuk nasik mereka bukan di buminya sendiri. Tetapi ada dibumi orang. Mereka lebih memilih untuk merantau, bela-bela meninggalkan anak istri bertahun-tahun untuk mencari rizki halal di negeri orang demi sesuap nasik anak istri mereka. Demi mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin hari jumlahnya akan bertambah. Bila mereka hanya mengaharap hasil kerja dibumi Indonesia yang katanya kaya ini, maka tidak akan mampu mereka menyekolahkan anak-anak mereka, tidak akan mampu mereka hidup sejahtera, karena ketidak adilan itu penyebabnya. Coba Anda yang bisa berfikir baik, bisa berfikir dengan hati, pertanyakan “wajarkah kenaikan BBM tanpa kenaikan harga jual hasil bumi?” bila tidak sebanding, “maka makan tanahlah wong deso”.
0 komentar:
Posting Komentar